“Saat besar nanti, kamu mau jadi apa?”
Yang ditanya, si insan yang tak lagi sekecil dahulu, mengadahkan mukanya ke langit—mencari jawaban.
“Aku suka begini saja.”
“Jadi anak-anak terus?”
“Jadi bebas terus.”
Si insan menyeringai, lantas berlari berusaha menerbangkan layangan yang sedari tadi ia genggam.
Dinikmatinya angin sepoi-sepoi yang berhembus di antara helai-helai rambutnya. Dirasakannya rerumputan yang basah di antara jemari kakinya. Ia tahu Sang Ibu akan kesal sebab kaki-kakinya usai bermain akan mengotori seisi rumah.
Tapi tentu, si insan tak merasa salah.
Seakan menjadi pemilik dunia, mana peduli ia akan apa yang orang lain katakan. Orang-orang di sekitarnya selalu berkata, jangan hidup sesuka hatinya. Agar tenang, berjalanlah mengikuti jejak langkah mereka yang telah mendahuluinya. Tapi, si insan berpikir, apa guna mengikuti arus bila bayarannya adalah kemerdekaannya? Si insan hanya akan melakukan apa yang ingin dia lakukan.
Ia tertawa, bergembira, bersama dengan para kawan yang sejiwa dengannya. Ia berdansa, mulai merasakan sesuatu yang berbeda kala ada tuan yang menyapanya. Sesekali ia tersandung akibat salah langkah, tapi itulah caranya untuk bisa berkembang. Dipelajari dan dipilihnya pijakan yang akan membawanya selalu merekah dan berbahagia. Hingga senyum dan tawa nyaris tak pernah lenyap dari wajahnya.
Orang-orang itu menyerah dan hanya berkata, sudahlah, biarlah dia menikmati. Sesaat lagi masa akan berganti dan ia tak akan sebebas ini.
Mungkin orang-orang itu benar. Mungkin memang masa ini akan segera berakhir. Mungkin bahagianya takkan pernah abadi. Tapi selama ia bertahan, selama masih ada yang bisa dirayakan, sang insan kecil berjanji akan selalu menjadi yang bersorak paling lantang.
Maka pergilah ia. Tertawa, bergembira. Berdansa, merasa. Merekah. Bertumbuh. Merekah.
Bersorak.
Narasi kedua dari Laku Lampah (2025).