Sudah seminggu sejak album piano pertamaku: Laku Lampah, dilahirkan. Sudah sekian banyak pesan dukungan aku terima sejak itu, dan untuk semuanya, aku ucapkan terima kasih sebesar-besarnya ❤
Berisikan 4 lagu berlanggam Jawa, Laku Lampah adalah representasi hasil belajarku dalam bidang-bidang yang kugemari dan ingin terus kutekuni ke depannya. Pertama, psikologi, dan kisah-kisah resiliensi individu yang menjadi inti dari kisah Laku Lampah. Kedua, budaya, yang terdengar secara gamblang dari notasi yang kugunakan serta filosofi Cakra Manggilingan yang menjadi inspirasi penyusunan konsep album—bagaimana waktu berjalan secara memutar, seperti cuplikan lagu pertama: Lelo Ledung, yang kuletakkan di akhir lagu terakhir: Yen Ing Tawang Ono Lintang, untuk mengisyaratkan perputaran waktu. Ketiga, tentu saja, musik.
Tentang bidang yang terakhir ini, banyak hal baru yang kupelajari sejak 2023 yang berujung pada kelahiran album Laku Lampah minggu lalu. Secara ringkasnya, dari mengalami jeda cukup signifikan, sampai akhirnya mencoba lagi dan hingga sekarang menemukan berbagai alasan untuk terus melanjutkan. Secara panjangnya:
2023 – Memulai Kembali
Walaupun telah mempelajari piano sejak usia 5 tahun, perjalananku dalam belajar musik secara rutin sempat berhenti akibat pandemi dan beberapa alasan lainnya. Di titik ini, aku sempat berpikir sudah tidak akan terlalu banyak bermusik, dan mungkin hanya menjadikannya sebagai selingan yang hanya sesempatnya dilakukan di sela aktivitas akademikku.
Pikiran itu berubah ketika Mamski mengajakku untuk mulai les piano lagi di awal 2023. No pressure, katanya, cuma untuk mengoptimalkan skill piano yang sudah terbentuk sebelum ditinggal merantau untuk kuliah di 2024. Hitung-hitung sekalian untuk menambah variasi aktivitas, aku menyetujui ajakan itu.
Maka bertemulah aku dengan guru piano ketigaku: Miss Hita. Dimulai dari kelas pertama dimana aku memainkan lagu yang merepresentasikan genre yang menjadi minatku dalam bermain piano: Tembang Alit karya Jaya Suprana, lalu dilanjut dengan kelas-kelas berikutnya yang mengembalikan keyakinanku dalam bermusik. Melalui kelas-kelas dengan Miss Hita, aku dikenalkan dengan lebih banyak karya-karya composer Indonesia yang kini mempengaruhi musik yang aku ciptakan yaitu Trisutji Kamal dan Mochtar Embut. Unsurprisingly, karena Miss Hita pernah menciptakan album berisi original compositions-nya sendiri, di kelas-kelas dengan beliaulah aku mulai didorong untuk berkarya juga.
Dari situlah, walaupun belum dikonsep menjadi sebuah album utuh, perjalanan Laku Lampah secara tidak resmi dimulai dari komposisi lagu ketiga: Njai, yang itupun sempat terhenti sebelum menjadi versi akhirnya.
Lagu Laku Lampah pertama yang kutuntaskan adalah Yen Ing Tawang Ono Lintang, pada Desember 2023, sebagai bagian dari lomba aransemen lagu yang diadakan oleh Sforzando, sekolah musik yang kuikuti. Proses aransemen berlangsung hanya sekitar satu bulan, dan penyelesaiannya akhirnya memunculkan pertanyaan:
Gimana kalau sekalian bikin album aja?
2024 – Menciptakan (dan Menemukan Ruang-Ruang Belajar Baru)
Pertanyaan yang muncul di akhir 2023 itu mendorongku untuk secara serius mengkonsep album Laku Lampah di awal tahun 2024. Sembari mempersiapkan pendaftaran kuliah, aku menyelesaikan komposisi Njai, menciptakan Sorak Hore, dan terakhir, mengaransemen Lelo Ledung sebagai pembuka cerita yang singkat tapi (semoga) berkesan.
Proses rekaman kemudian dimulai di pertengahan tahun 2024. Keterbatasan waktu (dan budget), karena tak lama setelah itu aku sudah harus berangkat merantau, membuat lagu-lagu Laku Lampah tidak direkam live secara akustik seperti yang awalnya kuinginkan. Alih-alih, rekaman dilakukan menggunakan digital piano, dengan bantuan mixing dari Miss Hita dan Om Tommy. Big thanks untuk kedua orang ini karena sudah membuat setiap proses mixing bareng di studio menjadi pengalaman yang sangat insightful buatku yang masih baru mencoba masuk ke dunia aransemen & komposisi musik.

Kepuasan yang didapat dari proses produksi hingga rekaman Laku Lampah memberiku alasan baru untuk tetap ingin berkecimpung di dunia musik, jauh dari pemikiranku di awal 2023 yang ingin menjadikan musik sebagai selingan saja. Berkarya, terutama dalam konteks musik, kini bukan hanya keinginan, tapi sebuah kebutuhan. Hal ini menggerakkanku untuk mencari cara untuk tetap bermusik selama di Yogyakarta, dan sangat bersyukur karena sekarang diberi kesempatan untuk menjadi pianis di Gadjah Mada Chamber Orchestra (GMCO).
Seperti Laku Lampah yang memengaruhiku untuk bergabung di GMCO, menjadi bagian dari orkestra ini dan bertemu dengan orang-orang di dalamnya yang sangat passionate dalam bermusik kembali memberiku motivasi untuk segera menyelesaikan proses distribusi Laku Lampah. Sangat amat menantikan ruang-ruang belajar baru dan inspirasi-inspirasi baru apa yang akan hadir dengan berada di sini.

2025 – Melahirkan Karya (dan …?)
Usai membereskan distribusi, aku memilih tanggal 24 Januari—hari ulang tahunku—sebagai tanggal rilis Laku Lampah, karena aku menganggap album ini, beserta semua kesempatan yang sudah dibawanya, sebagai kado untuk diriku sendiri. Sekaligus menjadi pengingat untukku terus berkarya (dan tidak merasa takut untuk membagikan karya tersebut).
Perjalanan Laku Lampah, aku harap, masih jauh dari kata selesai. Walaupun mungkin nantinya aku merilis karya-karya baru, Laku Lampah akan menjadi karya yang akan aku kunjungi lagi dan lagi. Karena bagaimanapun juga, masih ada banyak hal yang ingin kulakukan dengan album ini. Entah itu rekaman live dari sebuah studio, merilis partitur lagu-lagu di dalamnya, atau ide-ide lainnya.
Sekali lagi, aku sangat berterima kasih untuk semua yang sudah berkontribusi, baik secara langsung maupun tidak langsung, pada kelahiran Laku Lampah, termasuk mereka yang belum kusebutkan di tulisan ini.
Untuk menutup, berikut adalah sebuah kutipan yang kutemukan melalui salah satu mata kuliah yang aku ikuti di kampus, dan kerap menjadi penggerak untuk terus menciptakan Laku Lampah (dan semoga karya-karya berikutnya):
A musician must make music, an artist must paint, a poet must write if he is to be ultimately at peace with himself.
– Abraham Maslow