Categories
Reflection School

Menjadi Manusia Merdeka

Janji-janji manis kemerdekaan rupanya tidak hanya menggiurkan bagi negara saja, tapi juga bagi rakyatnya. Tak terkecuali Soe Hok Gie, seorang aktivis dan mahasiswa sastra Universitas Indonesia di zaman Orde Lama dan Orde Baru. Bahkan hingga ditulisnya dalam buku Catatan Seorang Demonstran bahwa:

Hanya ada 2 pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi aku memilih untuk jadi manusia merdeka.

Soe Hok Gie

Kebebasan dan kemandirian, siapa yang tidak menginginkan itu semua? Seperti kata Nyai Ontosoroh dalam buku Bumi Manusia, “berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri, dan maju karena pengalamannya sendiri” (Toer, 2010). Semua terasa lebih baik bila setiap individu bisa menentukan pilihan hidupnya sendiri.

Namun apakah menjadi manusia merdeka hanya sesederhana memiliki pilihan? Ketika Indonesia dijajah oleh Belanda, rakyat diberi pilihan untuk mengenyam pendidikan dengan adanya politik etis — tapi bukan berarti saat itu Indonesia merdeka (Apriyana et al., 2022). Begitu pula ketika Indonesia dijajah oleh Jepang, rakyat diberi kesempatan dan pilihan untuk berorganisasi — tapi tetap saja, bukan berarti saat itu Indonesia merdeka (Ishak, 2012). Maka pertanyaan yang tepat adalah, apa yang Soe Hok Gie maksud dari manusia merdeka dan pada titik apa seorang individu bisa disebut telah meraih kemerdekaannya?

Menurut Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia, individu yang merdeka adalah mereka yang dalam hidupnya tidak bergantung pada orang lain, tapi hanya mengandalkan kemampuannya sendiri (Rahayuningsih, 2022). Bisa dipahami pula dari kutipan Soe Hok Gie bahwa selalu ada suatu masa di kehidupan seseorang dimana mereka harus membuat keputusan sulit yang akan mendorong mereka untuk memilih mengikuti arus masyarakat umum atau menjadi apatis. Dimana apatisme ini juga pada akhirnya akan membuatnya terseret dalam arus. Namun bila ada seseorang yang berhasil membuat keputusan tanpa dipengaruhi oleh norma zamannya dan hanya terikat pada prinsip yang ia yakini serta kemampuannya sendiri, maka orang tersebut dapat dianggap sebagai manusia merdeka. 

Berbagai contoh karakter manusia-manusia merdeka sudah lama hadir dalam dunia sastra Indonesia. Minke dari Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, misalnya. Dirinya yang merupakan anak bupati sekaligus siswa HBS seakan terjebak di antara dua arus. Arus pertama adalah arus feodalisme Jawa yang ditempuh keluarganya dan yang kedua adalah arus modernisme Belanda yang dipelajarinya selama bersekolah di HBS. Awalnya, Minke nyaris terjun mengarungi arus modernisme Belanda hingga membenci adat istiadat Jawa, seperti yang ia katakan di buku Bumi Manusia:

Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.

(Toer, 2010)

Barulah saat Minke merasakan sendiri ketidakadilan hukum Belanda ia menyadari kekeliruannya dan kemudian bersikeras untuk menempuh jalannya sendiri dalam melawan kolonialisme Belanda meski harus menghadapi tantangan hingga kelak diasingkan. Semua demi menjadi “manusia bebas, tidak diperintah dan tidak memerintah” (Toer, 2010).

Contoh lainnya adalah Rara Mendut dari buku karya Y. B. Mangunwijaya. Sebagai perempuan muda yang hidup di zaman Mataram Kuno, hidupnya berubah ketika menjadi tawanan perang dan dipaksa untuk diperistri Tumenggung Wiraguna. Saat perempuan-perempuan muda lain di sekitarnya terbiasa mengikuti arus dan mempersilahkan diri menjadi selir kesekian dari para Tumenggung atau priyayi lainnya, Rara Mendut memilih jalan yang lain. Ia menolak untuk menjadi selir Tumenggung Wiraguna walau harus berjualan rokok di pasar untuk membayar pajak yang dikenakan Tumenggung Wiraguna padanya sebagai hukuman. Terlihat dari kutipan yang dikatakan Rara Mendut berikut, kegigihannya untuk menjadi “orang” dan bukan hanya “barang hiburan belaka” adalah bukti bahwa dirinya merupakan manusia merdeka.

Tidak mudah menjadi wanita cantik, Nduk. Tidak mudah. Apalagi di kalangan istana. Di sini kita menjadi barang hiburan belaka. Di luar kita lebih mudah jadi orang.

(Mangunwjiaya, 2022)

Contoh terakhir adalah Soe Hok Gie sendiri. Sampai-sampai Daniel Dhakidae, seorang jurnalis dan cendekiawan, dalam Bagian 1 dari Catatan Seorang Demonstran, menyebut Gie sebagai eternal oppositionist. Seorang oposisi sejati yang berprinsip perlu “menembus ketidakmungkinan yang ada dan bukan menerimanya” (Gie, 2012). Bagaimana tidak, demi perjuangannya sebagai aktivis mahasiswa yang ingin menggulingkan rezim Soekarno, ia sampai bergabung dengan LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa), sebuah organisasi yang berprinsip bahwa rakyat Indonesia beretnis Cina harus meninggalkan identitas kecinaannya agar bisa melebur dengan penduduk pribumi. Keputusan ini dengan sadar dia ambil sebagai seorang Chinese-Indonesian, alih-alih bergabung dengan Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) yang memiliki prinsip lebih pruralis, hanya karena Baperki adalah organisasi yang bergerak mendukung rezim Soekarno. Bahkan saat Soekarno berhasil digulingkan dan pemerintahan yang baru telah dibentuk, Gie tidak mau bergabung dengan sekelompok aktivis mahasiswa yang mendapat jabatan di parlemen. Ia tetap berada dalam barisan oposisi seperti yang bisa dilihat pada beberapa tulisan-tulisannya setelah tahun 1965 yang kini telah diterbitkan menjadi buku Zaman Peralihan. 

Justru dalam rangka mobilisasi sosial ini diperlukan kelompok-kelompok yang dapat bicara dengan segala lapisan masyarakat. Yang ke universitas, ke masyarakat desa, maupun ke kalangan tentara. Dalam hal inilah Pemerintah Soeharto belum berhasil.

(Gie, 2005)

Lantas, apa bisa dipahami dari ketiga tokoh tersebut?  Pertama, untuk menjadi manusia merdeka, seseorang harus mempertanyakan status quo dan norma yang ada pada lingkungan sekitarnya, agar nantinya ia bisa membuat pilihan hidup atas dasar keyakinan pribadi dan tidak sekadar membeo apa yang orang lain lakukan. Kedua, kemerdekaan dapat diraih dengan harga yang mahal. Di akhir cerita, Minke membayar kemerdekaannya dengan pengasingan ke Maluku Utara, Rara Mendut membayar kemerdekaannya dengan hidupnya, dan Gie membayar kemerdekaannya dengan rasa kesepian akibat terus menerus merasakan penolakan sosial baik di lingkungan kariernya maupun lingkungan pribadinya. Sehingga menjadi manusia merdeka tidak semanis angan-angan akan menjadi bebas. Diperlukan mental yang tangguh untuk bisa melewati jalanan berliku nan terjal yang sudah pasti akan menyertai. Hanya dengan begitu kemerdekaan dapat dicapai dengan seutuhnya.

By Ayunda Damai

A high school student that loves her family, friends, books, and piano <3

Leave a comment