Sudah lama aku tidak meresensi buku dan aku akan menulisnya sekarang. Resensi kali ini adalah tentang buku Diamond in the Rough. Diamond in the Rough ialah buku non-fiksi yang ditulis oleh Nathania Christy. Buku ini kudapatkan di Cuci Gudang Gramedia yang kuceritakan beberapa hari yang lalu. Meski hanya berharga 5000 rupiah, namun ternyata isi buku ini menurutku sangat bagus, memuat banyak pelajaran penting yang juga memotivasi pembacanya.
Bukunya sendiri bercerita tentang Nia yang tidak lain adalah si penulis, seorang pelajar SMP Indonesia yang berhasil memperoleh beasiswa pendidikan selama 4 tahun di Singapura. Ia menceritakan pengalamannya selama menempuh pendidikan di Singapura yang sangat berbeda dari Indonesia. Judul buku ini diambil dari kata-kata Nia saat wawancara seleksi beasiswa yang menyebut dirinya sebagai Diamond in the Rough. Ia mengumpamakan dirinya sebagai sebuah berlian yang saat itu belum dipoles. Dan pendidikan di Singapura yang keras membuatnya menjadi berlian yang terasah indah.
Bagiku, buku ini penuh dengan cerita-cerita yang menarik, seru, lucu sekaligus sangat inspiratif. Nia menjelaskan di bukunya mengapa ia membagi kisah hidupnya dengan tulisan. Ia merasa, kepintarannya lebih baik dibagikan kepada semua orang melalui tulisan. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pintar setinggi langit, tetapi selama tidak menulis, dia akan hilang dalam masyarakat dan sejarah. Menulis bekerja untuk keabadian.”
Semua cerita, apapun itu, pasti layak untuk dibagikan. Karena semua cerita, selalu mempunyai pelajaran atau hikmah di dalamnya. Itulah perkataan Nia di bukunya.
“Every story is worth sharing. Every story brings a lesson. And every lesson give different effect to each person.”
-Nathania Christy-
Satu hal utama tentang isi buku Nia yang ingin kuberitahu ke teman-teman semua adalah tentang pendidikan di Singapura yang kubilang sangat ketat dan sulit. Fakta-fakta di buku ini mungkin akan membuat kalian tercengang kalau membacanya. Seperti contoh, teman-teman Nia yang asli Singapura di Junior College-nya sangat -atau maksudku terlalu- tekun belajar! Hal itu dikarenakan sifat umum orang Singapura yang disebut dengan “kiasu”.
Kiasu berasal dari kata Hokian yang berarti takut kalah. Atau tepatnya, selalu mau lebih dulu, selalu mau menang, dan selalu mau menjadi yang terbaik. Kiasu ini sudah menjadi karakter utama orang Singapura, katanya. Nah, karena hampir semua teman-temannya selalu kiasu, mau tidak mau akhirnya Nia juga harus ikut kiasu juga. Kalau tidak, mungkin nilainya akan menjadi paling rendah dan berisiko dihentikan beasiswanya.
Cuma masalahnya kalau terpaksa menjadi kiasu seperti Nia adalah ia lantas sering merasa tertekan. Setiap hari harus selalu belajar dan belajar keras terus. Nia sendiri belajar hanya sampai jam 11 malam. ‘Eh, kok jam sebelas bilangnya cuma hanya?’ Memang, soalnya kebanyakan teman-teman Nia yang dari Singapura asli gara-gara ekstra mati-matian belajar akhirnya hanya tidur selama 3-4 jam saja tiap hari. Bahkan ada yang sampai nggak tidur. Beda jauh deh pokoknya kalau sama orang-orang Indonesia yang relatif santai.
Kata Nia di bukunya, selain orang asli Singapura, murid-murid perek juga adalah kelompok jenius yang punya kebiasaan ekstrim. Eh, tapi jangan salah paham lo, ya. Perek yang dimaksud di sini bukanlah perempuan nakal. Tapi perek adalah sebutan Nia untuk murid penerima beasiswa yang berasal dari China (PRC = People’s Republic of China, disingkat sama Nia dan teman-teman dekatnya dengan kata perek, hihihi..)
Perek-perek ini belajarnya serius banget!!! Jadi suatu kali, teman Nia sesama penerima beasiswa dari Indonesia sedang siap-siap ke sekolah. Ia sudah terlambat banget, tapi dia lihat roomate pereknya masih tidur. ‘Kasian nih, belum bangun. Daripada telat,’ pikir teman Nia itu. Sesaat, teman Nia langsung menyibakkan selimut perek tersebut, dan ternyata.. Di balik selimut, dia sudah pakai seragam sekolah! Katanya, beberapa perek memang sekitar jam 1 atau jam 2 setelah belajar, mereka langsung mandi, pakai seragam dan baru tidur. Jadi begitu bangun pagi langsung nyamber tas, terus berangkat! Aku aja yang baca langsung kagum-kagum tuh. Niat banget ya mereka ke sekolah! Beda banget sama aku kalau mau ke sekolah 😂
Satu lagi bagian cerita Nia di bukunya yang bikin aku melongo adalah tentang dia dan teman-temannya yang bolos untuk.. Belajar! Memang agak aneh tapi bagi Nia terkadang ada pelajaran-pelajaran tertentu dimana guru-guru menjelaskan materi yang sudah mereka tahu. Dan di situlah kesempatan buar mereka mencuri waktu buat belajar materi yang lebih penting atau mengerjakan tugas-tugas.
Di Singapura kalau mau tidak masuk sekolah, para siswa harus menyerahkan Medical Certificate atau MC dari dokter. Kalau untuk siswa asli Singaoura, mereka harus menbayar 70 dolar Singapura atau setara dengan Rp560.000,00 untuk mendapat MC. Tapi untuk penerima beasiswa dari Indonesia seperti Nia, mereka hanya perlu membayar 5 dolar atau setara dengan Rp40.000,00. Sebab itu banyak murid penerima beasiswa yang menyalahgunakan keuntungan itu untuk membolos demi belajar yang lain.
Tapi meskipun begitu, meskipun ada saja akal untuk melakukan ini-itu, tetap saja kehidupan pelajar khususnya penerima beasiswa di sana sangat berat. Hidup seperti robot, serba diatur dan tidak bebas. Setiap saat harus berjuang keras kalau tidak ingin dipulangkan karena nilai yang jelek. Karena selalu tertekan, Nia selalu mengingat pesan ayahnya tentang the key to happiness. Itu adalah :
- Do what you love.
- Love what you do.
- Do it for someone you love
Karena pesan ayahnya inilah, Nia dapat bertahan. Ia ingin orangtuanya merasa bangga atas dirinya. Dan dia menyampaikan juga tiga hal ini ke pembaca untuk memotivasi mereka yang sedang menghadapi situasi sulit.
Nia sekarang sudah berhasil menyelesaikan studinya. Buku ini dibuat Nia agar pembacanya bisa mengukir kisah mereka sendiri. Agar anak muda Indonesia bangkit dan berprestasi, tidak mudah menyerah dalam kesulitan sebab kesulitan itu seperti proses untuk mengasah kita menjadi seperti berlian. Dan itu disadari Nia setelah ia melewati semuanya. Nia ingin agar anak Indonesia belajar setinggi-tingginya, keliling dunia, dan akhirnya nanti mengubah Indonesia menjadi lebih baik. Karena kesuksesan milik semua orang. Siapapun itu.
10 replies on “Buku Diamond in the Rough”
Duh rajinnya……….. 😀
Hehe.. 😅😊
Damai.. Tulisan kamu bagus bgt.. Ini pertama kali saya baca tulisanmu.. Quotes ttg menulis td bnr2 mengena, betul bgt, totally agree.. Trus kmu jg lucu jg ya, pas kmu crita ttg si perek itu.. Di Indonesia pasti hmpr gada kya si perek itu.. Apalagi tdr sambil pake baju seragam, klo plg sekolah lgsg tdr pake seragam mgkn bnyk di Indonesia tp klo mau brgkt sekolah?? Hehe.. Hampir dipastikan gada.. Hehe.. Ada lg g ya buku itu, mau jg pny utk dibaca sama anak saya nanti klo udah agak gedean..
Terima kasih banyak tante..
Kalau untuk buku Diamond in the Rough itu, saya hanya menemukan satu di Cuci Gudang Gramedia. Tapi mungkin ada lagi di toko Gramedia lainnya.. 😊
Makasih damai,iya coba nanti tante cari2 ya, semoga dpt.. makasih sayang..
Sama-sama.. 😊
“Jadilah seperti matahari. Ia bersinar, dan karena sinarnyalah orang lain bisa melihat banyak hal di dunia” 😇
😊😊😊
[…] Rejeki kita dapat buku ini, Mai. Damai: Iya bagus isinya, Mam. Cuma 5000 lagi. Saya: Kamu ngerti nggak apa maksudnya kutipan […]
[…] Before getting to know what is stress management, Pak Ikin explained about the definition of stress. Actually I already understand about the definition of stress from Mamski when we discussed the book ‘Diamond in the Rough’. […]