Aku tahu kita bisa melakukannya, aku tahu kita bisa keluar dari masalah ini. Cepat atau lambat, kita akan menemukan solusinya.
Hai, aku Nita seorang anak kampung yang berada di pinggiran kota besar. Ayahku adalah kuli bangunan dan ibuku adalah ibu rumah tangga biasa. Buku adalah harta terbaik yang bisa kumiliki. Hal tersebut otomatis membuat perpustakaanlah tempat favoritku.
Namun beberapa hari ini, ada masalah yang menimpaku dan teman-temanku sesama pecinta buku. Semua ini dimulai pada hari Sabtu minggu lalu. Kami menuju perpustakaan seperti biasa. Perpustakaan Pelangi, yang diberi nama demikian agar bisa memberi banyak warna pengetahuan dengan buku-buku yang ada di dalamnya. Teriknya matahari tidak kami hiraukan selama perjalanan sejauh 1 kilometer itu.
Betapa kagetnya kami melihat perpustakaan yang kami sayangi itu tertutup oleh traktor, tanah, dan alat-alat pertukangan lainnya. Para pemilik traktor tesebut berkata perpustakaan akan dialih fungsikan! Kami syok sekali. Apalagi mengetahui bila perpustakaan akan dipindah.
“KIta harus menggagalkan pembangunan gedung itu!” Celetuk Kiki ketika kami telah sampai di lapangan dekat rumah. “Entahlah, Ki. Yang jelas, kita tidak bisa menghentikan mereka. Kita cuma anak kecil”, lanjut Tata. “Hei teman-teman! Walau kita masih kecil, aku yakin kita bisa menggagalkan rencana mereka. Ayolah, kita harus selalu optimis dalam keadaan seperti ini!” Seruku.
“Tapi kapan kita mau melakukannya Nita? Dan caranya bagaimana? gedung itu dengan cepat diganti bila kita tidak segera.” Tata masih terus mengeluh. Aku dan Kiki tidak bisa menjawabnya. Kami hanya mendesah. Katanya, gedung perpustakaan akan diubah menjadi mall. Entah apa itu. Namun dari informasi yang kudapat, mall adalah gedung yang sangat besar untuk tempat bermain dan berjalan-jalan orang kota.
“Ternyata mereka aneh juga ya. Main dan jalan-jalan saja di gedung. Bukannya seharusnya…”.”Aha! Bagaimana kalau kita berkata terang-terangan kepada pemilik mall itu?” Kiki memotong komentar Tata dan memberikan idenya. Yang harus kubilang cukup buruk. “Tak akan berhasil caramu Ki. Kita harus menggunakan cara yang lebih tepat.” Tolakku.
“Sudahlah, lebih baik besok kita ke sana dulu saja.” Tata memberi ide. “Hahaha, akhirnya kamu bisa optimis juga.” Diriku dan Kiki berkata bersama. “Baiklah, kalau begitu jangan lupa besok ya?” Ujarku. “Oke Nita! Mereka berteriak kencang. Dan kamipun kembali ke rumah masing-masing.
‘Tink, tink’; suara sendok yang beradu dengan piring saat makan malam terdengar jelas di telingaku. “Huft, mandor ayah dari tadi marah-marah.” Ayah tiba-tiba berkata. “Namanya saja orang kaya, pasti dia menginginkan banyak hal bukan?” Ibu menjawab. Ayah hanya menjawab dengan desahan. Sementara aku diam saja dan menunggu waktu yang tepat untuk menyampaikan rencanaku.
“Yah, bu, aku mau menyampaikan sesuatu.”, aku mulai berkata ragu-ragu. Ayah dan ibu yang fokus pada makan malam langsung menoleh.”Hmm.. Jadi, aku dan teman-temanku mau menggagalkan rencana pembuatan m-mall di sana itu.” Aku tergagap-gagap.
Ayah langsung melonjak kaget dan memukul meja. “Bisa-bisanya kamu, nak! Kamu ingin ayah kehilangan pekerjaan hah!” Bentak ayah. ” Tapi yah, aku ingin sekali perpustakaan tersebut berdiri kembali!” Terengah-engah aku membela diri. “Dengar ya nak, sekali lagi kau ingin menggagalkan proyek ini, ayah tidak akan membolehkanmu bermain dengan kawan-kawan anehmu!” Seru ayah untuk yang terakhir kali.
Aku tak kuasa menahan tangis, langsung saja aku berlari ke arah kamarku yang sempit. Disitulah aku menyadari, bahwa ayah adalah salah satu tukang pembuatan mall itu! Pantas saja ayah melarangku pergi. Tapi biarlah, besok aku akan menyelinap keluar dan menggagalkan rencana ini.
Pagi telah tiba, ibu sedang ke pasar dan ayah berangkat kerja. Ayah tidak mengatakan apa-apa padaku pagi ini. Hanya menatapku dengan pandangan waspada. Aku memanfaatkan keadaan ini dengan menyelinap keluar menuju tempat janjianku bersama Kiki dan Tata.
“Lama banget, Nit?” Tanya Tata. “Hehe, iya. Maaf ya. Yuk langsung berangkat.” Ajakku. “Yuk.” Kami berangkat dengan hati takut, semangat, intinya campur aduk.
Sampai di sana, area terlihat lengang. Hanya terlihat beberapa tukang di lantai 2 gedung. “Kamu duluan saja Nit.” Pinta Kiki. Aku segera maju ke depan Kiki.
Selangkah, dua langkah. Kutolehkan kepalaku ke kiri dan ke kanan untuk memastikan tidak ada orang yang melihat kami bertiga.
Aku tak menyadari di atasku sebongkah batu besar meluncur cepat dari jarak beberapa meter. “Nita!!”
Hanya kegelapan yang bisa kulihat.
Secercah cahaya muncul. Aku telah sadar. Kedua orangtuaku tampak berdiri cemas di sebelah ranjang tempat aku berbaring. Di sisi lainnya tampak banyak orang dengan seragam dan kamera merekamku. Sesosok pria memakai baju putih terlihat masuk ke dalam ruangan putih ini.
Para wartawan yang sebelumnya menyorotkan kameranya padaku langsung berpindah ke arah pria itu, walikota tempat aku tinggal.
Kini, setelah beberapa tahun dari masa itu, aku di sini mengingatnya kembali sembari melihat pemandangan kota dari atas apartemen. Setelah kejadian itu, kami diberi beasiswa untuk bersekolah di sebuah sekolah ternama. Perpustakaan Pelangi pun telah dibangun kembali. Tentu saja dengan gedung yang jauh lebih besar dan buku yang lebih banyak. Dan tarian kebahagiaan kami, tarian di atas pelangi, akan terus kami ulurkan kepada siapa saja yang membutuhkan.