Di dalam diri, anak kecil itu masih bernyawa. Ikut melanglang buana, mengelilingi dunia, dan memuaskan angannya. Sesekali ia memekik kesenangan atau pula tersedu sedan. Atau merasa asing dan seorang diri melihat semuanya sudah berganti.
Anak kecil itu lahir dari ketidakpastian dan tumbuh dengan segala yang familiar. Satu-satunya hal yang ia hendaki hanyalah untuk pulang. Kembali ke dekapan ayah dan ibunya. Kembali ke rangkulan rumah mungilnya. Tapi apa daya, kesempatan untuk pulang telah sirna oleh waktu. Digantikan dengan kesempatan untuk pergi dan tidak kembali.
Maka anak kecil itu semakin takut dan ragu. Ia terus merengek dan memohon. Dalam pintanya, ia bertanya, kapan pulang? Tapi tidak ada yang mampu menjawab. Hingga tangisnya memelan dan hilang. Hingga ia hanya bisa termangu dan terdiam.
Namun luka-lukanya menyayat semakin dalam.
Maka gapailah anak kecil itu dan peluk ia erat-erat. Tidak ada yang abadi, termasuk luka-luka yang ia hadapi. Dan ketika badai telah usai, ia akan kembali riang menikmati pelangi yang hadir. Dan luka-lukanya, semoga, perlahan pulih dan tidak akan pedih lagi.
Dan anak kecil itu akan terus mengiringi langkah kaki ini.